oleh: Aisyah Senja Mustika, CGP angkatan 7
Pengalaman Reflektif terkait Pengalaman
Belajar
Apa yang saya pelajari mengenai coaching betul-betul mencerahkan
saya, awalnya saya berpikir bahwa coaching mungkin terdengar serupa dengan proses
training atau mentoring. Namun, coaching sebenarnya sangat berbeda dengan
keduanya, bila training dan mentoring lebih berfokus pada mentor atau trainer,
pada proses coaching justru lebih memusatkan perhatian kepada coachee.
Pengalaman belajar menjadi coach sangat menantang, bagaimana kemudian kita
mencoba menjadi teman berpikir orang lain, mengesampingkan ego umum di mana
kita seringkali berusaha menjadi solver. Berusaha tidak menjudge kawan bicara
dan mengasosiasi pengalaman pribadi ternyata butuh skill.
Emosi paling berkesan adalah ketika saya berusaha menjadi
pendengar yang baik, berusaha menyelami permasalahan coachee dan membantunya
dengan sabar menemukan peluang. Ada sebuah AHA moment saat coachee yang kita temani
finally menemukan ide-ide yang bersumber dari refleksi serta kekuatannya
sendiri.
Hal baik yang telah saya coba pada modul ini adalah bagaimana
menjadi pendengar yang baik, saya belajar menahan diri agar tidak
mengintervensi ide atau peluang yang mungkin muncul dari coachee serta bertahan
untuk tidak melakukan asosiasi pengalaman hingga akhir sesi. Hal-hal yang masih
perlu saya perbaiki adalah bagaimana saya membantu coachee dengan
pertanyaan-pertanyaan berbobot yang membantunya berkontemplasi, serta bagaimana
menciptakan suasan yang “klop” sehingga coachee dengan leluasa menceritakan
permasalahannya.
Belajar menjadi coach, bukanlah belajar menggurui, justru kematangan
sosial dan pribadi saya semakin terasah. Saya semakin terampil menjadi pendengar
yang baik, menghargai setiap cerita melalui sudut pandang coachee, dan tanpa
disadari dengan lebih banyak mendengar, ada banyak ilmu pula yang saya tangkap.
Saya yakin, kita tidak cukup waktu untuk mencoba semua kesalahan dan
memperbaikinya, itulah mengapa kita perlu mendengar permasalahan orang lain dan
belajar darinya bagaimana masalah itu bisa diselesaikan.
Analisis
untuk Implementasi dalam Konteks sebagai CGP
Dalam proses menyelesaikan modul 2.3 ada beberapa pertanyaan
yang muncul dari dalam diri, seperti: bagaimana saat saya tak berhasil
menghantarkan coachee menggali ide dan membuat komitmen? Apakah saya terhitung
gagal? Lalu, tak bisakah saya membuat semacam scaffolding agar coachee bisa
sampai pada solusi yang diharapkan? Di awal pun saya masih kaku dalam
menerapkan alur TIRTA, sehingga pertanyaan berbobot yang saya lontarkan kurang
mengena. Namun, sejalan dengan Latihan yang saya tempuh dan diakhiri dengan eksplorosi
konsep saya menjadi semakin matang. Dalam proses coaching solusi tak melulu langsung
didapat, bisa jadi, ia perlu waktu lebih lama untuk sampai, but just fine, itu
tidak masalah dan tak berarti gagal. Pertanyaan berbobot juga bukan pertanyaan
yang kita siapkan dengan bahasa yang sulit atau membuat coachee berpikir berat,
pertanyaan berbobot adalah pertanyaan yang kita ungkapkan berdasar kesungguhan
kita mendengarkan dan memahami permasalahan
coachee.
Langkah selanjutnya adalah penerapan kompetensi coaching ini
bagi lingkungan saya. di tempat saya bekerja, ada program IHT meski tidak rutin,
di sana kami saling berbagi ilmu satu sama lain, saat jeda waktu kami juga
menyempat diri untuk saling berbagi permasalahan dan penyelesaikan terkait
pembelajaran. Ilmu coaching yang saya peroleh tentu akan sangat membantu saya
dalam melakukan brainstorming dan membantu rekan sejawat saya untuk menemukan solusi
pembelajaran.
Membuat
Keterhubungan
Perjalanan penuh kesan dari berbagai modul sebelumnya, tanda
disadari telah membantu saya melakukan akslerasi. Mulai dari modul 1.1 di mana
saya dibawa menyelami filosofi KHD yang luar biasa, lalu menuju modul 1.2 di
mana saya dikenalkan dengan nilai nilai guru penggerak dan bagaimana saya bisa
mengembangkan nilai nilai itu dalam diri saya. modul 1.3 di mana saya belajar
mengenai visi misi sebuah prakarsa perubahan yang mewadahi tujuan besar kami
untuk kemudian terejawantahkan dalam modul 1.4 mengenai Budaya Positif. Selesai
dari modul 1 yang merupakan bekal untuk menuju modul 2, pada modul 2.1 saya
diajak menekuni dan mempraktikkan pembelajaran berdiferensiasi, sebuah pembelajaran
menantang yang memberi warna di kelas. Pembelajaran berdiferensiasi
disempurnakan dengan modul 2.2 mengenai Pembelajaran Sosial Emosional hingga
kami menuju pada modul ini yaitu 2.3 mengenai Coaching untuk Supervisi Akademik
yang mengesankan.
Dari modul-modul tersebut, saya telah coba terapkan baik di
kelas maupun di sekolah. Beberapa praktik baik mungkin tidak berjalan dengan
baik dalam sekali waktu, saya perlu melakukan evaluasi dan refleksi untuk
menemukan formula yang tepat. Selang beberapa hari sebelum PGP dimulai saya
baru saja menyelesaikan kuliah PPG yang kental dengan pembelajaran inovatif.
Ini betul-betul membantu saya mendesign pembelajaran menyenangkan sesuai dengan
filosofi KHD di mana pembelajaran tersebut berdiferensiasi sekaligus mengandung
KSE. Di waktu yang sama saya juga tengah menyelesaikan kursus singkat Microcredential
selama 6 bulan bersama Monash University mengenai numerasi yang selesai pada
Oktober tahun lalu. Ketiga ilmu dari PPG, PGP, dan Microcredential saling
melengkapi dan menguatkan satu sama lain. Sebab saya telah mendapat manfaat
dari ketiga program tersebut, saya berharap bisa dan terus memberi dampak pada
lingkungan saya, utamanya bidang pendidikan.
Salam Guru Hebat!
0 Komentar