Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara PGRI edisi Juni 2021.
Sekitar empat tahun yang lalu, saya dan
ketiga adik saya merintis sebuah TBM di desa kami. Setelah melakukan beberapa
upaya, TBM itu berkembang cukup pesat dan mendapati donasi buku hingga ribuan
baik dari dalam maupun luar negeri dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Keberhasilan
TBM kami tidak lepas dari program gerakan literasi dari pemerintah yaitu
Pustaka Bergerak, program ini memberi gratis ongkos kirim buku bagi para donatur
ke berbagai TBM yang telah terdaftar di seluruh Indonesia setiap tanggal 17. Ada 4416 TBM tersebar di seluruh Indonesia, program Pustaka bergerak juga berkontribusi
bagi munculnya ribuan TBM dan terdistribusinya jutaan buka bagi seluruh
anak-anak Indonesia bahkan di daerah 3T.
Jika di luar sekolah gerakan literasi bisa
secepat ini, tentu sekolah yang merukan salah satu pusat keilmuan bermanuver
lebih kilat. Ternyata tidak begitu adanya, saat saya mulai memasuki sekolah
kembali sebagai guru, kondisi yang sama saya dapatkan pada ruang perpustakaan
ketika saya masih sekolah. Masih berdebu, buku usang terbitan dua dekade lalu,
dan sisanya buku pelajaran yang tidak lagi terpakai. Kondisi ini memang tidak
bisa dipukul sama rata, namun jika kita mau analisis jantung sekolah kita masih
banyak yang perlu direinvent agar kembali berdetak.
Menghadirkan buku penuh warna dan fitur
kekinian memang tidak mudah bagi sekolah. Apalagi bagi sekolah dengan jumlah
murid sangat terbatas sehingga dana BOS yang diterima juga minim, akan sulit
menganggarkan buku sementara untuk memenuhi biaya operasional saja
pontang-panting. Saya bertugas di SD dengan jumlah murid 27 dalam satu sekolah,
bisa kita hitung bersama bahwa sekolah kami menerima dana BOS kurang dari 25
juta per tahun. Jumlah yang terlalu kecil untuk menghidupkan sebuah sekolah apalagi
perpustakaan.
Selain terkendala sumber bacaan, literasi
sekolah memiliki tantangan tersendiri terhadap budaya oral oleh kebanyakan
masyarakat. Kita lebih banyak mendengar dan bercerita untuk menularkan suatu
informasi atau ilmu dibanding membaca lewat buku. Di rumah-rumah apalagi di
daerah pedesaan mungkin sangat jarang ditemui orang tua yang memegang buku dan
membaca, sehingga anak pun terasa asing dengan aktivitas membaca. Sebagaimana
psikologi anak, mereka berlari bukan untuk melatih kebugaran tapi karena
menyenangkan, sama halnya dengan membaca, mereka membaca bukan untuk menambah
wawasan, tapi karena membaca itu menyenangkan.
Tidak gemar membaca rupanya tidak hanya di
lingkungan rumah saja, di sekolah tidak sedikit kita temui rekan-rekan yang
enggan membaca. Sebagian dari mereka lebih senang mengobrol atau bermedia
sosial. Tentu ini bukan aktivitas yang dianggap buruk atau tidak layak, sebab
mengobrol maupun bersosmed dimaksudkan bersosialisasi. Akan tetapi, bagaimana
jika esensi obrolan ternyata sebatas membicarakan peristiwa belaka? Atau yang
lebih buruk malah menggunjingkan orang lain. Sudah sering kita dengar pepatah
ini ‘Orang bodoh membicarakan orang lain,
orang biasa membicarakan peristiwa, dan orang cerdas membicarakan ide.’
Jadi golongan yang manakah kita? Tentu diri kita yang lebih tahu cara
merefleksi diri. Tapi penting untuk kita tekankan bersama, bahwa guru
seharusnya ada di dalam golongan orang yang cerdas, bukan permasalahan berapa
IQ kita, namun bagaimana kita semestinya bersikap, yaitu orang yang lebih
cenderung membicarakan ide-ide. Lalu dari mana asal muasal ide jika kita tidak
membaca? Jika dalam benak kita merasa telah cukup ilmu, di saat itulah sebenarnya
kita papa.
Ada sebuah kritik cukup menggelitik nalar dari
seorang sahabat kita di salah satu situs internet, jika
teladan lebih berarti daripada kata-kata, teladan apa yang sudah mereka(guru)
berikan? Maksud saya menanyakan ini sederhana saja: dari mana nalarnya seorang
guru akan mengajarkan dan menyemangati agar siswanya mampu menulis, sementara
untuk sekadar meminati menulis dan membaca saja guru mereka masih minim?[1]
Menjadi ganjil memang kita menggerakkan
sesuatu sementara kita sendiri tak tergerak. Pertanyaan selanjutnya apa impact
besarnya ketika kita juga cinta membaca? Sama halnya saat kita menawarkan
sebuah produk, sebut saja buah penuh gizi dan nutrisi namun masih asing bagi anak-anak.
Jika kita sajikan di depan mereka dan kita bilang ini enak dan bergizi, barangkali
mereka akan mencoba, tapi ragu. Namun, jika kita bawa buah itu setiap hari dan
kita makan dengan lahap dihadapan mereka, tanpa diminta pun mereka yang akan
bertanya mendatangi kita dan mencoba. Teladan lebih nyata daripada kata-kata.
Coba kita merenung sejenak. Saat kita
memakan buah penuh gizi tersebut bukankah pertama kali yang mendapat manfaat
adalah kita? Jika kita adalah pelita dalam kegelapan, maka membaca itulah bahan
bakar cahaya kita. Jika kita adalah embun penyejuk, membacalah yang menjernihkan
embun itu sehingga saat diteguk oleh murid kita yang haus tidak saja
menyegarkan namun juga menguatkan. Membaca tidak diragukan lagi, ialah spirit
yang mengisi tabula kita sendiri, yang akan memandu kreativitas, integritas, profesionalitas
dan inovasi kita dalam mendidik.
Mari kita kembali menengok manfaat membaca bagi siswa. Profesor Abdul Karim Bakar pernah mengungkapkan dalam bukunya[2] “Membaca dapat berperan untuk menyelamatkan seorang anak yang hidup dalam kemiskinan yang sangat melarat. Kehidupan penuh kekurangan dapat membunuh ambisi seorang anak. Membaca membantu anak ‘melarikan diri’ dari tempat terbatas dan waktu yang sulit menuju tempat tidak terbatas dan menstimulasi mereka memperluas visi.’ Membaca bukan lagi kompenen hidup, tetapi menjadi kehidupan itu sendiri!” Bisa dibayangkan, anak-anak miskin yang kita bantu untuk melihat dunia yang insyaAllah akan menghantarkan mereka kepada kesuksesan akan menjadi jariyah kita. Jadi, tidakkah kita bersemangat membaca?
Salam literasi! Berdayalah Guru-guru Indonesia!
[1] Riduan Situmorang, www.basabasi.co 25 Februari 2019
[2]
Karim Bakar, Abdul. 2021. Membuat
Anak Kecanduan Membaca. Penerbit Aqwam: Sukoharjo. Halaman
0 Komentar