Pernah dipublikasikan pada Majalah Suara PGRI edisi Agustus 2020.
MENGUJI KEMERDEKAAN
PR
LAMA
Tujuh puluh lima
tahun yang lalu, saat proklamasi nan menyejarah itu disampaikan dan ribuan
pribumi bersorak. Tak sekali waktu, butuh perjalanan panjang agar koran, majalah atau sekedar kabar
angin yang ikut membawa perahu nelayan, mampu membisikkan pada semua rakyat
bahwa kita merdeka. Hari ini yang terasa lama dari hari itu, kita semua tahu bahwa
kemerdekaan ini masih terus mencari jiwanya.
IPM kita menduduki
peringkat ke-111 dari 189 negera[1].
Tikus berdasi hampir di setiap lini, pemimpin tidak
amanah, hukum tumpul ke atas tajam
ke bawah, kesenjangan sosial, degradasi moral, kriminalitas tak pernah absen
dari berita harian, kenakalan remaja, seolah-olah
menjadi lumrah. Sudah carut-marut masih semrawut dengan kumuhnya air sungai,
hutan terbakar, banjir, tata letak kota tanpa visi, jalanan rusak, reklamasi tambang terbengkalai, tidak
terkecuali kejelasan sebagian sahabat kita yang saat ini masih honorer.
Kasus miris ini seperti belerang pada pembakaran, mengepul tanpa kendali sementara
kita berusaha menjaringnya dengan tangan kosong.
Semua fakta rasanya menyudutkan kita untuk menyongsong status negara maju. Bagaimana pendapat Anda tentang Indonesia? apakah tidak ada lagi kesempatan bagi kita untuk bangkit? Tidak percayakah pada khayalan ilmiah bahwa ditahun 2030 bangsa kita menduduki perekonomian terkuat ke-7 di dunia? Tidak percayakah kita bahwa suatu saat nanti kita menemukan karakter bangsa kita sendiri? Manusia berKetuhanan, bangsa yang beradap, bersatu, berhotong royong dan berkeadilan?
TANTANGAN
BARU
Rasa-rasanya belum selesai dengan PR Lama, tahun ini bangsa kita dihantam begitu tiba-tiba dan dipaksa berubah mau tak mau. Covid-19 yang masuk ke Indonesia pada awal Maret lalu telah merubah banyak aspek, tidak terkecuali pendidikan. Kemendikbud mengeluarkan kebijakan belajar di rumah atau diistilahkan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk menekan penyebaran virus. PJJ dilakukan dengan sistem daring, guru menyampaikan materi, berdiskusi, dan mengevaluasi siswa melalui aplikasi.
Tantangan baru
memang, kualitas pendidikan kita yang belum merata langsung dibenturkan dengan
keharusan belajar online penuh yang idealnya adalah kurikulum pendidikan di era
industri 4.0. Banyak orang tua mengeluhkan sulitnya menemani anak mereka
belajar, selain materi yang tidak mereka pahami ternyata banyak yang kuwalahan
mendisplinkan putra putrinya belajar, lebih-lebih bagi orang tua yang masih
gagap teknologi. Peserta didik masih menyesuaikan diri dengan gaya belajar
barunya, umumnya mereka mengeluh ketidakpahaman mereka pada materi yang
diajarkan secara online. Sementara guru mesti mengakomodir kesulitan-kesulitan
itu semua dengan berbagai cara, baik dengan membuat media pembelajaran online, datang
ke rumah peserta didik, maupun dengan memberi waktu ekstra untuk tanya jawab
dan kegiatan evaluasi.
HARAPAN
Meski begitu banyak PR dan tantangan baru
bangsa ini, kita mesti percaya
pada harapan. PJJ belum pasti kapan akan
berakhir dan KBM tatap muka mungkin tidak akan sama lagi. Sekali lagi kita
dipaksa berubah, namun bukankah tekanan yang membuat kita berkembang? Sebab
ditekan, otak kita yang telah lama tertidur dipaksa agar lebih kreatif. Sebab
ditekan, kerja kita yang awalnya biasa jadi berdaya. Sebab ditekan, tidak ada
lagi alasan untuk tidak berkembang sesuai zaman.
Covid-19 mestinya
menjadikan para orang tua semakin dekat dengan anaknya. Kuncinya, bisa jadi
bukan orang tua mesti menguasai materi pembelajaran, namun kehadiran dan
dukungan orang tua itu sendiri yang membuat anak lebih bersemangat menemukan
jalan dari kesulitan yang ia hadapi. Untuk peserta didik tentunya ini menjadi
momen pembelajaran sesungguhnya, bahwa perubahan itu pasti, kita mesti bersiap
agar tidak tergilas. Kali ini kerja guru tidak cukup mengajar, namun menjadi
katalisator solusi untuk tantangan ini.
Mari sedikit kita berkisah, mengenai
hebatnya nenek moyang kita dahulu. Dari buku-buku sejarah kita tahu betul
Singapura pernah ada dalam cengkrama Gajah Mada, Malaka pernah lebih mahal dari New York[2],
kita pernah jadi Macan Asia. Pengetahuan akan
peradaban kita saat ini terpatah-patah, terserak kesana kemari, semakin samar
siluetnya pada generasi milenial.
Bangsa kita memiliki sejarah luar biasa untuk diungkapkan. Menceritakan nusantara
pastilah menghasilkan puluhan jilid kitab. Namun,
kita berbicara kehebatan para pendahulu bukan untuk terjebak dalam romantisme
masa lalu atau sekedar buah bibir kebanggan. Pencapain
nenek moyang kita terdahulu haruslah meyakinkan
kita bahwa kita pantas menjadi bangsa yang hebat. Jika Stephen Oppenheimer[3]
berani memproklamirkan nusantara sebagai atlantik yang hilang, tentulah ada magnet besar yang tersembunyi di Nusantara.
Untuk segala hal yang masih memesona di negeri kita hari ini. Tanah
kita adalah salah satu tanah tersubur di bumi, penerima radiasi matahari
tertinggi yang memungkinkan lahan tanah gambut terluas keempat. Hutan
kalimantan jadi salah satu jantung dunia, eksistensinya mempengaruhi peningkatan
global warming. Tanah emas paling
kaya, Papua. Balitong, negeri laskar pelangi yang dihuni jutaan ton timah.
Plasma nutfah kita bervariasi tak terperi. Jenis seafood favorit apa
yang tak tersedia di laut kita? Tumbuhan apa yang tidak bisa kita tanam? Bahkan
jika mau kita punya Sakura. Flamboyan.
Borobudur, Pulau Komodo, Danau Tiga Warna,
Raja Ampat, bahtera Pinisi, 1.340 suku bangsa, 625 bahasa daerah, ribuan warisan benda dan tak benda
dan untuk semua hal
yang tidak akan cukup disebutkan pada tulisan ini.
Negera kita masih kaya.
Dimasa lalu kita pernah berjaya, dan hari
ini bangsa kita masih begitu luar biasa untuk dihuni. Lalu bagaimana masa
depan? Setiap masa memiliki sejarahnya sendiri. Kewajiban kita bukan berkecil hati akan kebesaran masa lalu.
Tugas kita adalah meneruskan peradaban dengan belajar dari masa lalu,
merangkainya dengan masa kini dan membangun sejarah kita sendiri.
Perubahan
besar dimulai dari langkah kecil kita. Mulailah dengan melakukan yang terbaik
dari yang bisa kita upayakan dari profesi kita hari ini. Kita tidak bisa
mengubah bangsa ini seperti membalik telapak tangan. Tapi langkah kita adalah
bagian dari puing-puing puzzle perubahan. Puzzle tidak akan lengkap terpecahkan
tanpa bagian itu, dan bagian itu adalah langkah kita. Dengan menjadi guru
profesional yang melahirkan beberapa puluh murid berkarakter memang tidak serta
merta membuat bangsa ini maju akan ipteksnya. Dengan menjadi pengusaha yang membantu
banyak orang untuk mendapatkan pekerjaan tak lantas membuat bangsa ini kaya. Dengan
menjadi aktivis penghijaun tidak kemudian bangsa kita indah nan permai. Dengan menjadi
pejabat yang jujur, amanah dan punya arah tentu tidak bisa menyihir korupsi di
negeri ini hilang. Dengan menjadi penegak hukum yang mengayomi masyarakat
kecil, tak lantas keadilan serta merta bisa ditegakkan.
Namun, langkah itu adalah bahan baku untuk membangun peradaban
baru, pelan tapi pasti. Jika itu dilakukan bersama-sama, segala hal yang
mustahil itu pasti bisa terjadi. Seperti kata menteri kita terdahulu, Pak Anis Baswedan, Jadilah orang yang
menyalakan lilin ditengah kegelapan. Anda memang tidak bisa menyinari
segalanya. Namun lewat nyala lilin itu, ada harapan.
Harapan-harapan itulah yang membuat lilin lain ikut menyala. Tetap percayalah pada
langkah kita yang begitu berarti. Kelak lilin itu semakin ramai menyinari
kegelapan, dan satu diantara lilin itu adalah Anda.
Selamat berkarya!
Berdayalah guru Indonesia!
Selamat Hari Jadi
RI ke-75! Merdeka!
Aisyah Senja Mustika, S.Pd.
[1] Dikeluarkan oleh PBB, IPM
didasarkan pada tiga kategori yaitu kesehatan, pendapatan, dan pendidikan.
[2] Pada saat Malaka jatuh ke
tangan Belanda, Inggris yang saat itu juga ingin berkuasa di sana menawarkan
pada Belanda sebuah pulau yang saat ini kita kenal sebagai New York. Namun,
Belanda menolak sebab pada saat itu Malaka merupakan pulau tersohor akan rempah-rempahnya
yang kala itu lebih mahal dari emas. Bahkan menurut sebagian catatan, Isabella
mendelegasikan Columbus untuk mencari Malaka namun justru terdampar ke Benua
Amerika.
[3] Meneliti selama 30 tahun
dan dibukukan dengan judul ‘Eden in The
East’, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara’.
0 Komentar